Mobile Apps

Menu

Iklan

Negara Merugi, IWO : Bongkar Dugaan Manipulasi Dokumen Ekspor Pome dan CPO

KOMPAS NUSA
Senin, 26 Agustus 2024, Senin, Agustus 26, 2024 WIB Last Updated 2024-08-31T01:49:42Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

Jakarta||Kompasnusa2.com

Kejahatan kerah putih di Indonesia, sepertinya masih saja terus berlangsung mulus, sekalipun aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga KPK terus menggaungkan perang terhadap segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).


Tindak kejahatan yang memicu kerugian negara dalam jumlah besar yang perdugaanlu mendapat sorotan di balik ekspor Cruide Palm Oil (CPO) dan limbah cair sawit yang dikenal dengan Palm Oil Mill Effluent (POME).


Ikatan Wartawan Online (IWO) menemukan indikasi terjadinya manipulasi dokumen ekspor kedua produk dari kelapa sawit itu.


"Indikasi manipulasi itu sangat rentan terjadi mengingat sampai saat ini belum ada regulasi dari pemerintah yang mengatur khususnya terkait ekspor Pome, dan juga belum diketahui oleh masyarakat banyak," tegas Ketua Umum IWO, Yudhistira dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (25/8/2024).


Menurut Yudhistira, hal itu bisa dilihat dari ketimpangan pajak ekspor atas keduanya yang sangat jauh berbeda.


"Untuk pome misalnya, pajak ekspornya cuma 5 dollar Amerika perton. Sedangkan untuk CPO, pajaknya mencapai 138 dollar perton. Sangat jauh perbedaanya," tegasnya.


Pria yang akrab disapa Yudis ini pun mensinyalir, perbedaan nilai pajak yang sangat jauh itu terindikasi menjadi peluang bagi perusahaan tertentu untuk melakukan manipulasi dokumen terkait ekspor tersebut.


"Ini yang perlu diselidiki oleh Polri, Kejaksaan atau KPK. Peluang kejahatan itu sangat besar dan banyak pihak yang memungkinkan melakukan konspirasi di dalamnya. Apalagi banyak perusahaan produsen CPO di tanah air seperti Wilmar Group, Sinar Mas, Permata Hijau Group dan banyak lagi," sebutnya.


Modus operandinya, kata Yudhistira, salah satunya dengan manipulasi barang yang diekspor. Misalnya yang diekspor adalah CPO, tapi disebutkan di dalam dokumen cuma Pome yang tingkat keasamannya di atas 15%.


 "Secara kasat mata toh sama. Karena memang ini dibutuhkan penyelidikan ekstra untuk memastikan barang yang diekspor sesuai dengan di dokumen. Tujuannya jelas, agar pajak yang dibebankan lebih kecil. Atau dari investigasi kami, kejahatan itu juga terjadi dengan cara mengoplos (blend) CPO dengan Pome. Lalu di dokumen disebutkan Pome. Di eropah, kedua produk sawit ini bisa dipisahkan lho walau didatangkan dalam kondisi tercampur. Kalau tidak salah inilah permainkan mafia khususnya yang mengatur penyalurannya di Eropa." tegasnya.


Lebih jauh Yudis menjelaskan, di eropa saat ini kebutuhan CPO dan Pome sangat tinggi. Ini merupakan tindaklanjut dari kebijakan uni eropa terkait energi baru terbarukan (EBT) atau *renewble energy* yang meminta kapasitasnya terus dinaikkan, hingga pada akhirnya mereka menaikkan bio diesel dari sawit.


"Bahkan uni eropa sengaja memberi subsidi kepada perusahaan CPO.

Uni eropah cari barang CPO ke asia tenggara. Regulasi sudah diatur SICC. Untuk kebutuhan itu, importir dari China yang bertugas masuk ke Asia Tenggara mencari limbah. 


Terkait ekspor ini juga, sangat memungkinkan adanya kongkalikong antara pihak Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bea Cukai dan Syahbandar.


"Urusan produk minyak sawit inikan memang ranahnya Kementan. Kemudian sebelum diekspor ditimbun dulu dalam satu tanker. Bayangkan dengan kapasitas begitu besar , jika terjadi manipulasi dengan selisih antara 5 dengan 138 dollar Amerika, berapa kerugian negara," tandasnya.


"Dalam hal ini kan menjadi ranahnya bea cukai untuk mengecek produk ekspor itu. Lantas kenapa dengan mudah lolos, terus Syahbandar yang berwenang untuk arus lalu lintas kapal tanker. Lalu oknum aparat mengawal tanker sampai memasuki luar zona ekonomi ekslusiv (ZEE). Dan ini kami yakini sudah berlangsung sejak lama," pungkasnya.


Parahnya lagi, lanjut Yudis, para eksportir ini membeli produk turunan CPO tersebut dengan pajak hanya sebesar 11%, tapi kemudian biaya pajak itu diajukan restitusi mengingat untuk ekspor tidak dikenakan pungutan PPN.


"Selain merugikan negara, hal ini juga jelas membuat para petani sawit tak bisa menikmati keuntungan semestinya. Sementara produk yang mereka tanam dijual dengan harga tinggi oleh eksportir baik dalam bentuk CPO ataupun Pome," sesalnya.

(Bbg)


Sumber: Rilis Resmi IWO

Nomor: 062 B/PP-IWO/VIII/2024

Komentar

Tampilkan

Terkini

+
?orderby=published&alt=json-in-script&callback=labelthumbs\"><\/script>");