Sumut//kompasnusa2.com
Viralnya pemberitaan kasus penganiayaan anak di bawah umur warga desa Tegal Sari Kecamatan Natal Kabupaten Mandailing Natal (Madina) di beberapa media online dan menjadi trending topik di media sosial telah menjadi sorotan dari berbagai pihak, termasuk praktisi hukum.
Diketahui, seorang anak di bawah umur berinisial PI (15) dianiaya oleh sejumlah orang di Desa Tegal Sari akibat mencuri.
Peristiwa ini terjadi pada Jum’at dini hari (7/6/2024). Korban dianiaya dengan cara tidak manusiawi. Muka ditampar, tangan diikat, kaki diinjak menggunakan kursi hingga mulut disundut rokok.
Ketua Umum Formappel-RI, R Anggi S, dan Sekretarisnya, Rio S Lubis, memberikan kritik keras dan menuntut agar kekerasan tersebut diusut tuntas. Mereka menyatakan bahwa kepala desa dan sekdes harus diberikan hukuman terberat karena dianggap gagal menjadi panutan warganya. Minggu, 07/07/24.
Diketahui, kasus dugaan penganiayaan terhadap anak remaja di Kecamatan Natal yang melibatkan Kades dan Sekdes Tegal Sari telah mencapai perdamaian antara kedua belah pihak.
Sebagaimana pernyataan Faisal Haris, SH selaku kuasa hukum terlapor yang dikutip dari MNC Tri Jaya, bahwa kedua belah pihak sesuai dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 08 Tahun 2021, yang mengatur tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) melalui pendekatan keadilan yang memfokuskan pada kebutuhan korban.
Faisal Haris menjelaskan, sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, perdamaian tersebut tidak dimaksudkan untuk memenjarakan pelaku kekerasan terhadap anak.
Dijelaskan, saat ini kedua belah pihak sudah berdamai di Polres Madina, dan Surat Perdamaiannya sudah diserahkan ke pihak Kepolisian dan unit PPA. Dalam perdamaian telah disepakati bahwa korban dan terlapor sudah saling memaafkan, serta tidak ada lagi konflik antara kedua belah pihak.
Selain itu, dalam perdamaian tersebut, Kades akan memfasilitasi korban hingga usianya mencapai 18 tahun. Korban akan dibina serta difasilitasi dengan diberi Rekening Pribadi kepada korban dan memberikan jaminan kebutuhan, baik itu pendidikan dan kebutuhan lainnya, sehingga anak tersebut dapat hidup tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai seorang anak.
Dasar hukum perdamaian itu diatur dalam UU Perlindungan Anak, sejalan dengan Peraturan Kapolri No 8 tahun 2021 yang mengatakan bahwa perkara penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat, cacat atau mati dapat dihentikan penyidikannya jika ada perdamaian.
“Itulah dasar hukum perkara dalam kasus ini dapat dihentikan, dan tersangka dapat dikeluarkan dari tahanan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ucap Faisal Haris.
Di tempat lain, R Anggi S, Ketua Umum Formappel, sangat menyayangkan pernyataan dari kuasa hukum tersangka yang ditayangkan oleh MNC TRI JAYA.
R Anggi S mengatakan kepada media bahwa tidak ada kaitannya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 08 Tahun 2021 dengan UU Perlindungan Anak. Menurutnya, Restorative Justice tidak dapat diterapkan pada kasus yang menyangkut nyawa.
Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Kepala Desa dan Sekdes Tegal Sari, Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal sudah jelas menyangkut nyawa, sebab dari keterangan narasumber tindakan Kades dan Sekdes tersebut sudah di luar batas dan tidak boleh dihentikan tindakan hukumnya.
“Saya berharap kepada Kapolres Mandailing Natal agar proses hukum terkait penganiayaan tersebut berjalan sesuai prosedur yang berlaku, jangan dihentikan”, kata R Anggi S.
R Anggi S menambahkan, “jangan ada yang mengambil kepentingan dalam kasus ini, karena ini menyangkut tentang marwah seseorang”, tutupnya.
(Tim)